Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 1 : Lavatories Traveller

Wkwkwk ide banget ya nulis tentang lavatories.
Gak jelas, maka kalau gak punya high anthusiast gausa dipaksain baca keee

Tulisan ini bermula saat saya gagal mendapatkan akses masuk ke bilik restroom langganan di kampus. Entah gimana deh, biasa kata orang "inspirasi menghujanimu saat jongkok". Ya kebetulan bilik alternatif yang saya tempati itu berwujud WC jongkok dengan semi automatic sanitary system *etaah abaikan istilah ini karena saya yang buat-buat* membuat saya tiba-tiba teringat akan penjelajahan sejumlah restroom yang telah saya singgahi selama hidup.

Sedari kecil saya punya perbedaan khusus daripada saudara-saudari kandung saya, yakni saya tidak punya daily habit boker di pagi hari. Sudah sejak sejauh yang saya ingat, jadwal boker saya selalu berubah-ubah dan tidak tentu sehari sekali. Saya juga tidak ingat pernah tidakkah saya boker di toilet Taman Kanak-Kanak, seingat saya, boker selalu di hari weekend entah itu malam atau pagi. Seakan mekanisme boker saya waktu itu libur selama work days dan beroperasi di holidays. Saya juga ingat betapa jauhnya bak air dengan jamban di lavatory rumah nenek. Sejak umur 3 tahun saya sudah boker sendiri. *Informasi tidak penting*


Ya begitulah, hakikatnya sejak saya kanak-kanak hingga usia sekolah menengah pertama, saya belum benar-benar menjadi lavatories traveller karena restroom yang saya jelajahi hanya di rumah, rumah nenek dan di sekolah. Secara berurutan, kualitas restroom di SD-TK-Rumah Saya-Rumah Nenek-SMP dapat digambarkan oleh grafik eksponensial wkwkwk.

Semua anak-anak punya pengalaman -boker di celana- entah itu pengalaman sendiri atau pengalaman teman selama bersekolah dasar (TK khususnya). Nah, selama TK saya tidak pernah boker di celana saat di sekolah (tapi sekali boker di celana saat di rumah, gara-gara Ibuk saya wkwkwk). Walaupun umumnya restroom di TK cenderung lebih wangi, lebih bersih dan lebih rapi daripada restroom di jenjang sekolah yang lebih tinggi, entah kenapa murid-muridnya masih ada yang boker di celana hingga membuat Bu Guru TK *geleng-geleng kepala*.

Selama bersekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD) sejujurnya saya sering pipis bareng-bareng teman-teman, kadang bisa sampai bertujuh orang di satu biliknya. Entah kenapa masa-masa awal saya bersekolah di SD tersebut restroom siswinya dibuat ukuran maxi. Selalu tidak wangi, gelap, seram dan tidak bisa dikunci. Enam tahun bersekolah di SD, beberapa kali saya boker di sekolah (tentu saja karena jadwal boker saya yang tidak bisa ditebak), saya selalu merasa ingin cepat-cepat selesai, tidak pernah muncul bayangan inspiratif, restroom di SD selalu menjadi nightmare karena memunculkan bayang-bayang seram. Entah takut lampunya mati, takut keluar tangan dari dalam jamban, takut air mengalirkan darah, takut kekuncian dan tidak bisa keluar *padahal slot kuncinya rusak dan harus diganjal ember*. Khusus untuk boker, kalau tidak salah saya selalu sendiri. Kalau ketahuan teman pasti jadi ejekan dan berakhir olok-olokan. Bisa jadi karena mereka tahu di bilik siswi maupun siswa tidak tersedia sabun untuk cuci tangan wkwkwk. Sampai akhirnya di beberapa tahun terakhir SD, sekolah kami direnovasi, sebelum itu setiap kali boker saya selalu numpang bilik guru hehehe. Pernah ketahuan guru olahraga sewaktu saya keluar dari bilik guru, tetapi saya membela diri "di wc siswi pintunya ndak bisa dikunci pak" wkwkwk.

Beda halnya saat di SMP. Meskipun sekolah saya saat itu sudah melekat titel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, tetapi restroomnya samasekali primitif wkwkwk. Tidak bisa digunakan untuk berkegiatan buang air yang berperikemanusiaan. Entah pintunya tidak bisa dikunci, lampunya tidak nyala, ruangannya sempit, bau, dan airnya tidak mengalir. Terkadang saya harus mengecim (membooking) bilik, menyalakan airnya, menunggu di luar hingga airnya cukup (karena tidak kuat baunya), baru kemudian masuk dan menyelesaikan hajat secepat kilat. Kebanyakan teman-teman melakukan ganti baju di ruang ganti atau di toilet, tetapi saya lebih memilih mengembangkan cara efektif gantibaju di muka umum wkwkwk. Kenapa? Tentu saja karena saat-saat harus visit toilet adalah saat-saat yang paling tidak saya sukai. Biasanya izin ke toilet adalah kebohongan untuk mlipir ke kantin. Selama 3 tahun di SMP saya tidak ingat pernah boker atau tidak. Tetapi yang saya ingat, hampir setiap minggu ada kasus "cewek bocor" karena toiletnya tidak ramah pada kebutuhan gadis-gadis datang bulan.

Memasuki masa SMA, saya menemukan arti kenyamanan di toilet yang sesungguhnya. Lebih dari 12 jam sehari saya habiskan waktu di luar rumah. Probability saya boker di luar rumah lebih besar daripada boker di rumah. Di SMA, saya punya bilik favorit, yakni di lantai satu, bilik nomor 1 atau 2 dari cermin. Saya sangat jarang menggunakan bilik selainnya, karena berdasarkan sejumlah pertimbangan, saya sudah menemukan bilik yang paling nyaman. Entah itu dari aspek ventilasi, kebersihan, kewangian, penguncian, lebar lubang bawah pintu dan sebagainya. Sebuah kebiasaan baru saya di SMA adalah belajar pagi 10-30 menit di bilik toilet sebelum ujian dimulai. Toilet di SMA sudah sangat manusiawi, jauh dibanding toilet di SMP. Di dua bilik favorit saya, jambannya cukup tinggi, beberapa senti di bawah lutut, hal ini memiliki sejumlah keutamaan, yang pertama sindrom merasa diintip dari bawah pintu tidak terjadi dan lebih nyaman ketika harus mencuci 'sesuatu (yang hanya diketahui wanita)', tidak harus jongkok, cukup dengan membungkuk bisa menjaga kesucian lebih baik daripada di jamban setara lantai.

Saat memasuki masa kuliah, jadwal boker saya menjadi semakin unpredictable karena sebagai 'anak rantau' pola makan semakin tidak teratur. Di semester awal perkuliahan, menjelajah toilet di kampus belum sampai membuat saya menjatuhkan pilihan mana restroom favorit saya. Di semester awal perkuliahan juga saya jarang merasa ingin boker di kos-kosan karena masalah timing. Saya yang punya masalah boker ini pun secara tidak sengaja menemukan metode yang cocok. Entah kenapa setiap saya pergi ke pusat perbelanjaan (mall) saya merasa ingin boker. Walhasil tahun-tahun pertama saya kuliah, bila saya sudah terlanjur tidak boker selama lebih dari 4 hari, saya akan 'menyengaja' pergi ke sejumlah mall di Jogja. Entah itu untuk numpang baca di suatu toko buku, untuk nonton film sendirian, untuk beli eskrim contong, untuk mengambil brosur kredit mobil, untuk mendinginkan tubuh atau untuk selfie di sebuah outlet perlengkapan rumahtangga, dengan bersepeda onthel pun saya jabanin mal-mal tersebut, dengan tujuan utama lavatoriesnya bukan untuk selfie tetapi agar bisa boker. *ini semua demi pencernaan*

Setelah beberapa semester saya kuliah di kampus kerakyatan, gedung jurusan di fakultas saya melakukan renovasi termasuk restroom. Semakin tua saya sudah jarang ke mal-mal untuk boker, saya semakin sering berada di fakultas saja (dan jarang menjelajah fakultas lain). Saya punya sejumlah restroom favorit, yakni untuk buang air kecil di bilik jamban duduk  automatic sanitary system di gedung A2, A1, A4, tapi yang paling simpel, lapang dan nyaman untuk buang air besar adalah di bilik jamban jongkok A10 lantai 2 paling ujung. Dibanding restrooms lain yang pernah saya singgahi untuk boker di lingkungan kampus, mulai dari restroom di gedung pusat, perpus pusat, gelanggang mahasiswa, masjid kampus,  hingga di klinik kesehatan, restroom bilik pojok A10 lantai 2 adalah yang paling nyaman dengan semiautomatic sanitary system, airnya lancar jaya, tidak pengap, sepi dan berpintu ganda, sangat friendly sekali, sangat memfasilitasi munculnya ide-ide brilian.

Selain di sejumlah mall, sekolah dan kampus, saya pernah melakukan perjalanan panjang naik motor seorang diri dari Yogyakarta ke Purwakarta, dalam 24 jam (pulang-pergi) saya singgah di sejumlah lavatories di restarea khusussnya di jalur Pantai Selatan Jawa. Sejumlah SPBU (rest area) sudah memfasilitasi kegiatan buang hajat yang manusiawi, mulai dari yang gratis hingga yang berbayar, dari yang maual hingga automatic sanitary system dan sebagainya.

Saya pernah melakukan KKN kurang lebih 50 hari di Kota Batu. Kebetulan setiap beberapa hari sekali saya boker dong ya, di pondokan. Ya meskipun pondokan saya bagus, kebetulan juga beberapa kali saya merasa kebelet saat aktivitas di luar pondokan. Ada sebuah SPBU di Kota Batu menuju Kecamatan Karangploso yang menyediakan restroom air hangat 24 jam. Saya pernah mengunjungi sejumlah masjid diberbagai wilayah di Pulau Jawa, sebut saja Masjid Darussalam Tamanharjo Singosari, Masjid Besar Singosari, Masjid Al-Falah Jalan Bandung Malang, Masjid Sabilillah Malang, Masjid Jami' Alun-Alun Malang, Masjid UMM, Masjid Kampus UGM, Masjid Kampus ITS, Masjid Salman ITB, Masjid Nurul Ashri Deresan Yogykarta, Masjid Pemkab Sleman, Masjid UIN Suka, Masjid UNY, Masjid Mataram Kotagede, dan masjid-masjid lainnya, yang memiliki restroom terbaik versi saya adalah Masjid Nurul Ashri Deresan. Setiap biliknya memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan yang baik, bersih, rapi dan terawat.

Apasih pentingnya kita membahas Lavatories?
Penting dong, restroom yang baik, mewujudkan kesehatan yang baik juga. Kok bisa? Ketika kita lega saat buang hajat, 'limbah' dari tubuh kita akan lebih total keluar dari tubuh. Sirkulasi air dan udara yang baik di toilet juga meminimalkan terjadinya toilet sebagai sumber penyakit. Terutama di lingkungan tempat ibadah, sebaiknya pembangunan restroom juga diperhatikan menyangkut kesucian tempat bersuci. Bonus terpenting adalah setiap tempat termasuk toilet sebaiknya mendukung tumbuhnya ide-ide kreatif para penghuninya.

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pengalaman saya menyinggahi sejumlah lavatories di sejumlah kecil wilayah Indonesia wkwkwk, dapat saya simpulkan dan sarankan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Toilet di sekolah, sebaiknya dibuat berdasarkan standar operasional prosedur yang tepat wkwkw, terutama di sekolah dasar, jangan lagi membuat toilet besar-besar, gelap dan menakutkan, minimalkan fenomena pipis bersama di kalangan murid SD karena penyebaran penyakit menjadi sangat beresiko.
  2. Toilet di sekolah terutama di SMP maupun di SMA sudah saatnya ramah pada gadis-gadis terutama yang datang bulan. Fasilitasi mereka untuk menjaga kebersihan dimulai dari air yang mengalir, sabun cair untuk cuci tangan, pintu yang bisa dikunci, pembuatan ventilasi yang aman dan minim rasa was-was (diintip), dan penyediaan tempat pembuangan pembalut. Tidak tersedianya tempat pembuangan pembalut di sekolah menyebabkan siswi-siswi memilih menggunakan pembalut extra size agar bisa menampung banyak hingga sepulang sekolah, padahal seharusnya pembalut diganti setiap 3-4 jam sekali.
  3. Toilet di sekolah sebaiknya dipasangi poster Adab Buang Hajat, karena tidak semua anak tumbuh besar dengan sempat diajari orang tuanya tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di toilet. Baik yang berlandaskan agama dan keyakinan maupun yang berlaku global seperti dilarang membuang pembalut di kloset, dilarang jongkok di WC duduk, dilarang merokok di dalam bilik, dilarang coret-coret tembok, dilarang membuang-buang air, dilarang meninggalkan bilik sebelum menyiram bersih. 
  4. Toilet di tempat umum, seperti di mal, di institusi kesehatan dan institusi publik yang menjadi destinasi masyarakat disemua kalangan hendaknya mencantumkan bagaimana cara menggunakan sanitary system tersebut dengan bahasa yang lazim dan universal bagi semua kalangan user, khususnya untuk bilik-bilik yang menggunakan sanitary system kekinian. Tidak sekali duakali saya mendapati jamban yang tidak disiram karena saya duga user sebelumnya tidak tahu bahwa cara penggunaan toilet eco flush adalah dengan diputar dan dipencet wkwkwk.
  5. Toilet di rumah ibadah harus lebih berhati-hati lagi. Rekomendasi dari saya adalah contek toilet Masjid Nurul Ashri.
Closing Statement
  • Bukannya saya tidak mensyukuri semua toilet yang sudah pernah saya jelajah, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah semua toilet itu bertempat di Pulau Jawa yang paling kekinian dibanding pulau-pulau lain di Indonesia. Sedih nggak sih membayangkan toilet di lokasi yang lebih tertinggal?
  • Mungkin dibanding mushalla, perpustakaan dan *tempat-tempat baik* lainnya, toilet yang berkonotasi tidak lebih baik itu lebih sering dan lebih istiqomah disambangi oleh setiap orangkan? 
  • Sudah saatnya Indonesia menjadi negara dengan bilik toilet yang ramah segala gender, semua kelas masyarakat, baik yang berkebutuhan khusus maupun yang berkebutuhan umum. 
  • Toilet yang sehat menyehatkan pengguna, toilet yang nyaman meningkatkan karya. Yuk, mari berbenah toilet!

Notes:
Saya menggeneralisir istilah restroom, toilet, wc, lavatory dan lavatories sebagai kamar kecil.
Aslinya kamar kecil itu ya restroom. Toilet itu WC/Jamban. Lavatory itu washtafel. Ok?

Komentar

  1. Baca awal²ny apa siihhh... Ga penting banget... Emang aq mau tau... Hahahaha...
    Tp hal ga penting tadi bisa jadi masukan besar... Iyaa juga yaa... Ntaabbsss...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 5 : 5 Tempat Makan Favorit

Review Drama (1) : Memories of the Alhambra

Unsur-Unsur dalam Komunikasi