Cerpen yang Panjang Tidak Selalu Jelek, Tidak Juga Selalu Bagus (Oleh. Faatihah Abwabarrizqi)

Suatu hari penulis browsing di internet mencari-cari cerpen untuk mengisi waktu luang. Kebetulan saja waktu itu hari libur jadilah penulis mencari cerpen yang agak panjang. Kemudian penulis mendapatkan dua buah cerpen yang keduanya sama-sama panjang. Walau ada dua perbedaan dasar di mana satu cerpen terjemahan dan lainnya adalah cerpen lokal.
Cerpen terjemahan itu berjudul “Di Taman” salah satu cerpen peraih nobel karangan Gao Xingjiang isinya ‘berat’ walau dalam konteks sederhana. Maksudnya cerpen ini memuat masalah yang berat namun dikemas dalam adegan-adegan yang ringan. Sedangkan cerpen lokal yang penulis maksud berjudul “Air, Udara, Api, Tanah” karya Jessie Monika. Cerpen yang yang memiliki banyak konflik dan banyak adegan ini dimuat di website resmi Femina dalam bentuk cerita pendek bersambung juga telah memenangkan sayembara mengarang Femina 2005.
Keduanya cerpen yang
bagus secara keseluruhan. Terbukti dengan diraihnya penghargaan-penghargaan sastra. Tapi siapa yang bilang cerpen-cerpen ini bagus? Tentu saja pakar sastralah yang berhak menandai mana cerpen bagus dan mana yang kurang bagus. Padahal pembaca tak hanya dari kalangan terpelajar, pakar, maupun pecinta seni sastra. Kenyataannya cerpen-cerpen ini masih saja ada yang mengatakan ‘biasa’.
Jujur penulis sendiri bukanlah pakar maupun ahli sastra yang berhak menilai kualitas cerpen, tapi penulis juga berhak membaca dan menikmati cerpen-cerpen ini. Beruntungnya, penulis merasa cerpen-cerpen yang telah disebutkan bukanlah cerpen biasa. Mereka adalah cerpen-cerpen yang luar biasa. Imajinatif, kreatif, berbobot dan berkualitas. Bisa ditinjau dari pemilihan kata-katanya yang luar biasa tidak biasa, alur ceritanya yang sulit ditebak dan akhir cerita yang mengejutkan pembaca. Mereka bukanlah cerpen-cerpen pasaran. Tapi ini menurut penulis.
Bagaimana menurut orang-orang selain penulis? Secara acak penulis meminta beberapa teman penulis untuk membaca cerpen-cerpen ini. Taukah anda apa yang pertama terlontar dari mereka? Waah, panjang bener? Bagus nggak nih? Atau malah ada yang bilang Wew, panjang ya? Nggak deh. Lalu ada juga yang bilang Udah panjang nggak ngerti isinya apa lagi. Dan setiap kali ada tugas yang berurusan dengan prosa terutama cerpen, teman-teman kerap kali memburu Cerita PENDEK.
Mungkin minat membaca sangat besar pengaruhnya dalam hal ini, tetapi tidak dapat dipungkiri juga kalau paradigma tentang cerpen PANJANG adalah salah satu syndrome yang sudah mendarah daging di kehidupan bermasyarakat. Mereka seakan takut bertemu cerpen panjang apalagi untuk membacanya adalah sebuah keharaman.
Cerpen panjang, awalanya penulis juga merasa cerpen seharusnya bercerita dengan singkat. Tetapi kenapa harus panjang? Menghasilkan penghargaan, bagaimana bisa? Banyak pertanyaan yang muncul mengenai cerpen panjang ini. Walau setelah membaca cerpen-cerpen panjang ini penulis bisa menerima alasan para pakar sastra memberikan penghargaan.
Cerpen panjang memuat banyak kejadian, percakapan dan konflik. Otomatis cerpen panjang banyak memberi kesempatan pembaca untuk mengarungi dunia sastra dan berimajinasi di dalamnya. Cerpen panjang juga sering kali menyuguhkan nilai-nilai moral tersirat yang tidak lazim terkandung dalam cerpen-cerpen yang beredar di pasaran.
Karena membaca cerpen tidak hanya untuk hiburan, mengisi waktu luang, ataupun bahan untuk tugas kompetensi dasar, melainkan membaca cerpen juga bermanfaat untuk mendapatkan pelajaran hidup dan tentu saja sebagai media relaksasi spiritual.
Cerpen panjang akhirnya bukanlah sebuah monster yang harus kita berlari darinya, sebaliknya cerpen panjang adalah maha guru yang semestinya kita berkawan dengannya agar banyak pengetahuan, pemahaman, dan edukasi yang dapat kita terima. Bukan berarti cerpen yang tidak panjang bukanlah maha guru, tapi cobalah tidak mengucilkan salah satu dari mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 5 : 5 Tempat Makan Favorit

Review Drama (1) : Memories of the Alhambra

Unsur-Unsur dalam Komunikasi