Baru Sadar Ternyata...

Ini sesi nggak penting, super nggak penting, nir faedah lah pokoknya.
Jadi gini, aku tuh sebenernya tergolong orang yang lumayan optimis dan cinta damai. Sejujurnya aku nggak suka dan nggak kuat ngehadapi konflik, baik yang berkaitan atau yang nggak berkaitan langsung denganku, selama aku tau, aku pasti nggak nyaman. Contoh termudahnya adalah aku nggak kuat nontonin sepupuku sama suaminya sepupuku omel-omelan masalah sepele, aku nggak kuat liat berita di beberapa stasiun yang secara kasat mata keliatan banget nggak berimbang, nah disitu aku bakal langsung kesel dan mindah ke channel lain, iklan pun nggak papa. Kadang kalau lagi nggak mood nih, sepupuku ngajak diskusi soal kebijakan pemerintah, waduh aku bisa langsung teriak "udahlah nggak usah dipikirin, entah apalagi yang bakal bikin emosi" <<<< jawab sinis gini karena kalau diskusinya dilanjutin bakal kebukalah itu kurangnya pemerintah yang bikin makin emosi. Lha kok malah cerita konflik sih? Yaudah sekalian.
Yah begitulah, kadang di keluarga sendiri aku lebih sering memoles statement salah satu anggota keluarga biar agak enakan didenger sama anggota keluarga lain, lagi-lagi biar nggak mulai war, berusaha jadi penengah diantara keluarga, tapi seringnya nggak kuat sendiri, malah jadi pihak yang nangis-nangis kejer, me time setaun juga nggak bakal ngefek. Kalau ada segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga atau kerabat dekat, walau keliatannya aku lupaan, seringnya sebagian besar masih terpatri dalam jiwa *hadeh, dan suatu hari di masa yang lebih kedepan, saat aku teringat lagi dan ternyata itu kejadian payah dan memalukan, aku mesti langsung mual dan berasa ingin muntah wkwkwk.
Nah, sesungguhnya yang ingin aku ceritakan pagi ini adalah soal muntah hahaha. Jadi semalem aku muntah, sampai takut makan, terakhir kali aku muntah kayak semalem adalah saat aku kena vertigo pas KKN wkwkwk, ini tergolong jenis muntah yang habis-habisan, yang diisi apa dikit langsung dikeluarin lagi. Habis muntah kaya gini mesti berakhir pusing dan sakit kerongkongan. Aku jarang muntah parah kayak gini, tapi aku sering mual, yaa mual karena malu wkwkwk. Aku bersyukur aku bisa ngerasain mual, aku bersyukur, aku tersadar ternyata aku masih bisa malu, Alhamdulillah.
Selama ini aku berusaha jalani hidupku apa adanya, yah sesukaku, semampuku, aku berusaha ndak bandingin kehidupanku dengan kehidupan teman-temanku, aku berusaha memandang wajar setiap pencapaian orang lain, kenapa? Karena aku takut, aku takut terpicu, aku takut kerja keras, aku takut ternyata aku gagal, dan aku takut kalau akhirnya aku bilang "Ya coba kalau dia ngerasain rasanya jadi aku!" Naudzubillah min dzalik. Misal nih, aku punya teman penyiar radio hits (aslinya juga aku ingin terjun ke penyiaran) tapi aku selo, aku santai, aku doakan temanku semoga kerjaannya lancar, berkah. Aku doakan temanku agar doa itu mantul ke aku juga, insyaAllah. Misal juga, ada temanku yang lulus cumlaude kurang dari  empat tahun dengan sederet pengalaman organisasi dan kompetisi dan jadi pembicara di sana sini, walau mereka teman dekatku, nggak lantas aku ngasih mereka bunga sekeranjang dan cokelat setoples, tentu aku turut bahagia, teman-temanku berhasil menyelesaikan studinya dengan sangat memuaskan, bisa jadi harapan penopang keluarga, kudoakan semoga berkah ilmunya, bermanfaat untuk umat.
Selama ini aku ndak pandai menjadikan oranglain sebagai pelecut semangatku, mau teman-temanku punya target A, B, C, dst, mau teman-temanku bekerja keras pagi-siang-sore-malam, begadang, ngopi-ngopi biar terjaga, aku selalu santai saja (ini bukan tindakan positif, bukan untuk dicontoh), jalani semampuku, jangan stress!! Ada kalanya aku ngelembur, ada kalanya aku lupa tidur, tapi aku yakin aku bahagia, nggak percaya? Coba scroll sosmedku, nggak ada cerita aku ngeluh yang mencerminkan aku nggak bahagia, nunggu dosen aku nggak marah, direvisi dosen aku nggak marah, dihambat birokrasi aku santai, karena aku nggak mau sakit hati, aku nggak mau sedih. Selama semua pihak menjalani komitmen, mau pahit dan terjal aku bisa terima, tapi kalau ada yang melanggar komitmen biasanya sih aku kecewa dan milih pergi aja, karena pelanggaran komitmen adalah pemicu terjadinya konflik.
Balik lagi tentang malu, selama ini aku hampir jarang banget ngerasa minder dengan pencapaian akademisku yang biasa aja diantara teman-temanku yang luar biasa, jadi aku nggak malu sih, wkwkwk pede amat dah ngerasa nggak ada hal yang cukup memalukan dariku hahaha (enggak gitu, kata bapakku, kata bulekku, kata ibukku, malu itu pada tempatnya dan percaya diri ada masanya). Paling sering aku malu kalau ketauan  nggak istiqomah wkwkwk, senin pakai gamis dan jilbab gede, selasa pakai potongan rok dan kemeja, sampai teman-teman nggak notice, malu kalau liat temen nunda makan buat sholat, sedangkan aku makan dulu baru sholat (lha gimana lho lapar banget), malu kalau denger temen bacaan Qur'annya bagus banget (aku mah apa), malu kalau temen hafalan Qur'annya tercermin dalam perilakunya (aku mah apaaaaaa T.T).
Kok cerita ini jadi panjang amat dah?
Balik lagi, jadi semalem aku nangis sampai muntah habis-habisan, kenapa? Karena ada temen, ngabari aku kalau temen kami ada yang sudah dapat gelar wkwkw. Biasanya kan aku biasa aja ya? Tapi entah ini nggak biasa, dapat berita ini aku langsung tumpah air mata. Air mata bahagia? Bukan. Air mata sedih? Bukan. Air mata takut? Iya. Teman ini pintar, jelas, aku percaya kalau dia pasti bakal lulus ctepat waktu, oh jelas dia luar biasa, MasyaAllah-lah pokoknya, insyaAllah teman ini paket komplit. Air mata sedih? Dia bisa gitu, kenapa aku nggak bisa? Tidak. Jelas bukan, karena hidupku dan teman ini beda, makanan kami beda, pola asuh kami beda, kerja keras kami beda, hasil beda itu wajar. Tadi malam, aku menangis karena takut. Ya, takut, seandainya teman ini lulus kemudian pergi ke Jerman, itu tidak lebih menakutkan dari pada teman ini pergi ke pelaminan :')
Aku takut, aku takut ditinggal saat aku sedang berusaha mengimbangi ketertinggalanku dan mengompensasinya dengan hal-hal lain yang semoga bermanfaat untuk umat di masa yang akan datang. Aku takut aku semakin ketinggalan dan akhirnya ditinggalkan. Semalam aku tersadar, kalau sudah tertinggal seharusnya aku berlari untuk mengejar, bukan berjalan santai sambil menikmati pemandangan, seharusnya aku berlari kencang tapi tetap tidak boleh lengah dan berkeluh kesah, ya, semalam terlalu banyak seharusnya-seharusnya yang berputar-putar di kepala sampai buat mual dan akhirnya muntah. Ayuk cepat! Kalahkan dirimu sendiri! Keluar dari zona damai dan santaimu! Sulit cari damai di dunia, santai itu di Jannah, insyaAllah. Ingat faatihah, berani lari harus berani nahan sambat! Bismillah, Lillah Faatihah!! Semangattt!! Allahu Akbar!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 5 : 5 Tempat Makan Favorit

Review Drama (1) : Memories of the Alhambra

Unsur-Unsur dalam Komunikasi