Kesuburan, Pemupukan dan Kesehatan Tanah: Trilogi Biomassa

ABSTRAK
Manajemen produksi yang sejalan dengan kelestarian alam mendorong munculnya ide untuk pengelolaan kembali limbah yang dihasilkan demi mendukung proses produksi akan dapat diterapkan setelah mengetahui konsep trilogi biomassa untuk kesuburan tanah dan tanaman dengan mengembalikan bahan organik padat, berair dan lunak ke dalam tanah. Metode yang digunakan dalam pengelolaan biomassa dapat melalui pirolisis untuk mengelola biomassa padat hingga dihasilkan biochar, melalui bio-composting menggunakan reaktor biokompos Hi untuk mengelola biomassa berair hingga dihasilkan biokompos (pupuk organic cair) dan komposting untuk mengelola biomassa lunak hingga dihasilkan kompos. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam praktiknya, perkembangan lalat hitam berbanding lurus dengan suhu, suhu yang lebih rendah memperlambat laju perkembangan dan suhu yang lebih tinggi meningkatkan laju pertumbuhan di banyak serangga, sedangkan pada perencanaan dosis biochar, sangat penting untuk mengetahui komposisi tanah.
Kata kunci: Trilogi Biomassa, Biochar, Lalat hitam.

I.         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini kebutuhan global akan sumber bahan untuk sandang, pangan, dan pakan semakin tidak terelakkan. Seolah kemajuan teknologi tetap tidak dapat membendung peran sektor pertanian sebagai sektor vital dalam usaha-usaha penyediaan kebutuhan primer umat manusia. Pada permulaan, ketersediaan stok bahan baku untuk kebutuhan pokok adalah fokus utama dalam proses produksi. Namun semakin mengarah ke masa ini, limbah muncul sebagai permasalahan, baik masalah kesehatan manusia maupun pencemaran lingkungan. Sehingga  diperlukan manajemen yang tepat dalam proses produksi bahan baku ke barang jadi dengan memerhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Manajemen produksi yang sejalan dengan kelestarian alam mendorong munculnya ide untuk mengelola kembali dari limbah yang dihasilkan untuk mendukung proses produksi. Dari yang termudah dalam hal pengelolaan dan pengaplikasiannya, limbah organik cenderung lebih unggul daripada limbah anorganik yang memerlukan sistem pengelolaan limbah kompleks dan tidak mudah diperankan oleh masyarakat awam. Limbah organik dapat ditemukan dengan mudah di rumah-rumah warga. Oleh karena itu, pengelolaan limbah organik tentu akan memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat. Keuntungan dari pengelolaan limbah organik, atau yang lebih mudahnya sebut saja biomassa, adalah pengurangan penumpukan biomassa limbah organik secara besar-besaran di tempat pembuangan umum, yang tidak sedap dipandang dan dibaui serta potensial menjadi sumber inokulum bagi patogen baik sebagai ancaman kesehatan manusia maupun tumbuhan budidaya. Pengelolaan limbah organik dapat berupa usaha-usaha untuk mengembalikan biomassa (material yang menyusun organisme) ke dalam tanah tanpa membahayakan tanah, sebaliknya untuk memperbaiki struktur dan komposisi tanah. Pengembalian ini diharapkan dapat memicu peningkatan kualitas tanah dan sejalan dengan usaha-usaha peningkatan produksi khususnya di bidang pertanian.  Jalan pengembalian biomassa ke dalam tanah dapat melalui 3 jalan: 1) Bagian keras (berkayu) dengan pirolisis untuk menghasilkan biochar yang dapat diaplikasikan ke tanah setelah perendaman dalam POC (pupuk organik cair; 2) Bagian berair (cair) dengan memanfaatkan reaktor biokompos Hi (Hermetia illucens) sehingga dapat diaplikasikan dalam tanah berupa POC; 3) Bagian lunak, melalui komposting dapat dimanfaatkan oleh tanah setelah berupa kompos yang matang (Yuwono, 2016).

B.     Tujuan
1.      Mengetahui konsep trilogi biomassa untuk kesuburan tanah dan tanaman.
2.      Mengetahui metode/tahapan yang digunakan dalam pengelolaan biomassa.



II.      TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Trilogi Biomassa (Yuwono, 2016)
Menurut Yuwono (2016), seluruh biomassa (material yang menyusun organisme) dapat dikembalikan ke dalam tanah, melalui 3 jalan:
1.      Bagian keras (berkayu), contoh: kayu, bambu, cabang, ranting, termasuk kertas, dibuat menjadi biochar (arang hidup), melalui proses pirolisis (pembakaran tanpa oksigen) yang menghasilkan arang, diteruskan proses menghidupkan dengan perendaman dalam POC sehingga menjadi biochar.  Biochar dapat diaplikasikan langsung ke dalam tanah, sebagai mulsa di permukaan tanah atau diikutkan serta dalam proses pengomposan. Biochar dalam tanah dapat bertahan beberapa abad.
2.      Bagian berair (cair), contoh: sayur, buah, daging, susu, dibuat menjadi pupuk organik cair dalam reaktor biokompos Hi (menggunakan larva lalat hitam atau Hermetia illucens). Pupuk organik cair (POC) dapat digunakan sebagai sumber hara , diaplikasikan lewat tanah atau lewat daun tanaman, sebagai sumber inokulan untuk pengomposan, atau sumber nutrien, organik dan mikroba yang digunakan untuk menghidupkan biochar. POC bermanfaat untuk jangka yang sangat singkat.
3.      Bagian lunak, contoh: daun, korotan ternak atau pupuk kandang, dibuat menjadi kompos melalui proses komposting. Komposting terdiri dari dua proses : (1) dekomposisi atau perombakan/penguraian, dan (2) rekomposisi/sintesis. Kompos dalam tanah dapat bermanfaat sampai 3-5 tahun.
Hermetia illucens tersebar luas di daerah beriklim tropis dan hangat antara sekitar 45°N dan 40°S. Di banyak negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, massa sampah organik dapat dikurangi secara substansial dengan menggunakan larva dari non-hama tentara hitam terbang, Hermetia illucens L. (Diptera: Stratiomyidae). H. illucens larva lahap memakan di pembusukan sisa organik dari pasar dan restoran, kotoran hewan dan kotoran manusia, penurunan dapat terjadi masing-masing 33-58% bahan organik dari kotoran sapi dan 50% dari kotoran ayam serta pengurangan bahan kering sampah organic kota hingga 70% (Diener et al., 2015)
Tahap larva terakhir, yang disebut prepupa, bermigrasi dari sumber pakan mencari tempat pupation yang kering dan terlindung. Pupation terjadi dalam kulit larva, menjadi dewasa setelah sekitar 14 hari. Betina kawin dua hari setelah muncul dan bertelur ke celah-celah kering dan celah-celah yang berdekatan dengan sumber pakan. Karena waktu yang relatif panjang antara oviposisi dan eclosion (3-4 hari), telur tidak pernah diletakkan langsung ke bahan membusuk yang lembab. Selama fase dewasa, H. illucens tidak makan dan hanya mengandalkan cadangan lemak tubuhnya. Akibatnya, lalat tidak datang ke dalam kontak dengan bahan organik segar termasuk bahan makanan, dan karena itu lalat hitam tidak dianggap sebagai tidak sehat atau sebagai vektor penyakit. Setelah menetas, larva mulai memakan sampah, pengurangan volume massa limbah kering dapat terjadi hingga 55%. Karena kepadatan larva dan nafsu makan larva yang tinggi, bahan segar diproses sangat cepat dan pertumbuhan bakteri ditekan atau dikendalikan, sehingga produksi bau busuk menjadi minimum. Keuntungan tambahan dari H. illucens adalah kemampuannya untuk mengusir oviposisi lalat rumah perempuan yang merupakan vektor penyakit serius terutama di negara berkembang (Diener et al., 2011).
Dalam kondisi ideal dengan sumber makanan berlimpah (yaitu limbah deposito), larva dapat mengurai dalam dua minggu. Namun, kekurangan makanan dan suhu rendah dapat memperpanjang periode larva hingga empat bulan. Fleksibilitas yang besar dalam siklus hidup mereka dapat sangat membantu dalam mengelola populasi selama periode kekurangan limbah dan dalam menyimpan larva untuk menetaskan populasi baru. Prapupa, tahap dewasa terakhir, menunjukkan kebiasaan migrasi yang jelas. Mereka perlu meninggalkan sumber makanan untuk berhasil menjadi kepompong menjadi lalat dewasa. Pada tahap ini, prapupae berada di ukuran maksimum mereka, memiliki kandungan protein yang besar (36-48%) dan lemak (31-33%) untuk mempertahankan mereka melalui metamorfosis (Diener et al., 2011).
Memanfaatkan larva Hermetia illucens, beberapa keunggulan reaktor biokompos Hi yakni tidak memerlukan listrik, tenaga, bahan kimia, air, ataupun mikrobia biang (aktivator). Reaktor tertutup sehingga aman dari gangguan hewan yang mengaduk limbah organik, serta tidak menjadi sarang nyamuk atau serangga lainnya. Cara penggunaan yang mudah hanya dengan membuka tutup, memasukkan limbah organik, dan menutup kembali. Tutup tidak perlu rapat agar terjadi pertukaran gas dan sebagai rute keluar – masuk lalat dewasa yang akan bertelur. Reaktor dibuat dengan memanfaatkan barang bekas yaitu tong fiber 200 L (bekas wadah khemikalia), engsel, kran air, pipa L, lem, dengan estimasi beaya Rp. 300.000,00.  Umur teknis reaktor ini diperkirakan 20 tahun.

Gambar 2. Reaktor Biokompos Hi (Yuwono, 2016)
Mekanisme perombakan limbah organic dalam saluran pencernaannya, larva Hermetia illucens mengeluarkan enzim katalitik yang mampu mencerna selulosa, protein, lemak dan karbohidrat dalam limbah sayur dan buah. Enzim tersebut dihasilkan oleh mikrobia bawaan terutama bakteri dalam usus larva tersebut, dimana aktivitas enzim perombak dipengaruhi oleh temperature optimum enzim amilase 40 , enzim lipase pada 40 , dan enzim protease pada 45 . Penelitian lain melaporkan banyak sekali enzim Alkaline di dalam  perut larva Hermetia illucens (Yuwono, 2016).
Hasil utama berupa cairan yang mengandung: unsur hara, ensim, mikroba. Konversi limbah sayur dan buah menjadi cairan diperkirakan sekitar 50%.  Analisis cairan reaktor tanpa pengolahan, secara tipikal adalah: pH (7,18), Daya Hantar Listrik ( 8,29 mS/cm) dan redoks (-36 mV). Cairan ini dapat digunakan langsung atau diolah terlebih dahulu sebagai pupuk cair, kemudian setelah diencerkan  diaplikasikan lewat daun atau dikucurkan ke tanah. Cairan dapat juga digunakan sebagai sumber mikroba dalam pembuatan  kompos  padat.  Dengan  demikian  akan  terjadi  penghematan  bagi petani (Yuwono, 2016).
Hasil lain berupa pra pupa, analisis pra pupa kering memiliki kandungan protein 40%,  lemak  35%,  serat  kasar  7%,  abu  15%.  Kandungan  protein  yang  tinggi  ini, sehingga cocok dimanfaatkan sebagai pakan ayam atau ikan. Kandungan lemak yang tinggi, dapat diolah menjadi minyak atau bahan bakar. FAO (2013) menyebutHermatia Illucens sebagai salah satu sumber pangan untuk masa depan (Yuwono, 2016).
Untuk pengelolaan limbah padat dengan mengenal asal biochar, kembali ke era pra-Columbus, ketika masyarakat Amerindian kuno di wilayah Amazon Brasil pertama yang membuat ‘tanah bumi gelap’, juga dikenal sebagai terra preta, melalui slash-dan-char. Tanah ini ditandai dengan kadar karbon lebih tinggi, hingga 150 g C / kg tanah dibandingkan dengan tanah sekitarnya (20 - 30 g C / kg tanah). Kadar karbon yang meningkat ini masih ditemukan, bahkan ratusan tahun setelah tanah tersebut ditinggalkan, membuktikan masih adanya bahan organik pada ‘tanah bumi gelap’ tersebut. Oleh karena itu, total karbon yang terakumulasi dalam tanah ini tampaknya lebih tinggi dari tanah disekitarnya. Kesuburan tanah karbon yang tahan lama, dan keberlanjutan biochar cukup menarik dalam penelitian. Glaser et al. (2000) mengemukakan ide baru mengidentifikasi karbon hitam (residu dari pembakaran tidak sempurna – biochar) sebagai kemungkinan penyebab dan faktor kunci dalam tanah yang subur dan berkelanjutan. Bahan organik di terra preta telah menunjukkan kesamaan struktural dengan biochar, ilmuwan mengemukakan penjelasan inilah penyebab kandungan karbon dan kesuburan yang tinggi di terra preta (Rajapaksha dalam Ok et al. 2016).
Maanfaat dari penerapan biochar yakni sebagai deposit karbon dalam tanah dengan cara mengikat dan menyimpan CO2 dari udara untuk mencegahnya terlepas ke atmosfir. Kandungan karbon yang terikat dalam tanah jumlahnya besar dan tersimpan hingga waktu yang lama. Biochar juga berkemampuan untuk memegang air dan hara dalam tanah, membantu mencegah terjadinya kehilangan pupuk akibat aliran permukaan (runoff) dan pencucian (leaching), sehingga memungkinkan penghematan pupuk dan mengurangi polusi pada lingkungan sekitar. Biochar, sebagai salah satu teknologi yang murah dan bisa diterapkan secara luas dalam skala kecil ataupun luas (Basri dan Azis, 2011). Reaksi yang terjadi saat produksi biochar adalah sebagai berikut:
Biomass + Heat ----> Char + Tar (bio-oil) + Gas (CO, CO2, H2, CH4)
Beberapa eksperimen dengan pot menunjukkan penurunan pertumbuhan tanaman disebabkan karena penurunan ketersediaan nutrient. Efek ini diperkirakan akan terbatas dari waktu ke waktu, terutama jika hal itu disebabkan oleh dekomposisi (mineralisasi) dari fraksi karbon labil biochar. Namun bila serapan ke permukaan biochar kuat, kapasitas serapan maksimum dapat diasumsikan, sehingga jumlah nitrogen mineral yang berkurang dalam tanah diperkirakan stabil dan kemudian berkurang dari waktu ke waktu. Meskipun tidak ada bukti dari efek percobaan biochar ini, mungkin ada baiknya pengembang proyek biochar lainnya untuk menerapkan biochar beberapa bulan sebelum musim tanam utama sebagai tindakan pencegahan (Shackley et.al., 2016). 



III.   METODOLOGI
Pemanfaatan limbah organik sebagai pembenah tanah dan pupuk pada Acara I Trilogi Biomassa Praktikum Kesuburan, Pemupukan dan Kesehatan Tanah dilakukan pada Rabu, 24 Agustus 2016 pukul 13.30 – 15.00 WIB di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada untuk simulasi metode pengelolaan limbah organik padat. Selanjutnya untuk metode pengelolaan limbah organik berair dilakukan pada hari Minggu, 28 Agustus 2016 dan simulasi kedua metode pengelolaan limbah organik padat  pada hari Minggu, 18 September 2016 di di Desa Argomulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Sleman.
Pengelolaan limbah organic padat dimulai dengan persiapan alat berupa tong logam yang diletakkan di tempat terbuka (tidak di dalam ruangan), pemantik api, dan ember. Persiapan bahan berupa air, POC/larutan bakteri starter, jerami dan kayu-kayuan yang kering juga perlu diperhatikan untuk mempercepat proses pirolisis. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pembakaran jerami di dalam tong logam sebagai pemicu pembakaran yang cukup besar (sebagai pengganti bahan bakar minyak) untuk kayu. Setelah api yang ditimbulkan dari pembakaran jerami dirasa cukup untuk pembakaran kayu, maka kayu mulai dibakar. Pembakaran kayu dan penurunan suhu kayu dihentikan ketika kayu berupa arang dan sebelum kayu berubah menjadi abu dengan digunakan penyiraman dengan 1-2 ember air. Setelah arang dirasa tidak terlalu panas, arang dientaskan dari kubangan air dan dicacah di tempat yang relatif kering. Setelah pencacahan, untuk didapatkan biochar, dilanjutkan dengan direndamnya cacahan arang pada larutan POC/ bakteri starter (dalam simulasi pertama digunakan EM4 dengan dosis 20 ml EM4 : 1000 ml air). Setelah beberapa hari, biochar siap digunakan.
Pengelolaan limbah organic cair dimulai dengan persiapan alat berupa tong plastik reactor biokompos Hi (Gambar di lampiran)  yang diletakkan di tempat terbuka (tidak di dalam ruangan) dan ember penampung. Persiapan bahan berupa limbah organic berair. Selanjutnya yang perlu dilakukan yakni dimasukkan limbah organic berair (sayur, buah, daging, susu) ke dalam reactor biokompos Hi. Dalam beberapa waktu, pada kondisi optimal, lalat hitam Hi akan datang ke dalam reaktor dan hingga dihasilkan larva pengurai limbah organic berair. Hasil uraian larva lalat hitam Hi dapat dipanen apabila sudah dapat dikeluarkan melalui kran reactor biokompos Hi dan ditampung di ember untuk diaplikasikan ke tanah. 



IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah membandingkan hasil pupuk organik cair yang dibuat pada simulasi pertama di belakang rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dengan hasil pupuk organik cair yang dibuat di Desa Argomulyo nampak perbedaan yang jelas dari parameter yang diamati.

Tabel 1. Parameter Fisik Pupuk Organik Cair

Penerapan metode yang sama dalam memproduksi pupuk organik cair dapat memberikan hasil yang berbeda. Larva pada reactor biokompos di Desa Argomulyo tidak seperti larva lalat hitam melainkan seperti larva lalat rumah dan lalat hijau. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi pembeda pada hasil pupuk organic cair ini, yakni dari segi lokasi yang cukup terasa perbedaannya, Desa Argomulyo memiliki temperatur rata-rata 22-28OC sedangkan di Fakultas Pertanian yang berlokasi di Desa Caturtunggal memiliki rata-rata suhu 24-31OC, kemungkinan adanya lalat hitam di Desa Argomulyo setelah wawancara sedikit dengan penduduk sekitar juga beranggapan jarang menemukan lalat hitam yang kami maksud. Perkembangan lalat hitam sebagaimana serangga lainnya berbanding lurus dengan suhu, dengan suhu yang lebih rendah memperlambat laju perkembangan dan suhu yang lebih tinggi meningkatkan laju pertumbuhan di banyak serangga. Penelitian Tomberlin et al. (2009) menunjukkan bahwa pertumbuhan lalat hitam pada suhu 27O melambat 11% bila dibandingkan dengan pertumbuhan di 30OC (Holmes et al., 2012). Sehingga asumsi sementara, lalat selain lalat hitam juga kemungkinan berpotensi menguraikan limbah organic cair namun tidak secepat dan serapih pengomposan dengan lalat hitam. Untuk lebih memastikan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut apakah pupuk organic cair yang dihasilkan memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk cair organic.
Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Cair Organik
(http://www.kagamapertaniandki.org/)
Pada simulasi produksi biochar di Desa Argomulyo tidak banyak perbedaan dengan yang dilakukan di Fakultas Pertanian. Namun, beberapa pertanyaan yang muncul dari warga adalah tentang dosis penerapan biochar di lahan mereka. Karena pupuk organik cair yang semestinya digunakan untuk biang pada biochar tidak dengan mudah dapat diproduksi di sana, warga juga menanyakan tentang dosis dari pupuk organic cair ataupun bioformulator EM4. Bio formulator EM4 digunakan dengan dosis 1 tutup botol (20ml) EM4 dilarutkan dalam 1 liter air begitu pula untuk pupuk organic cair dapat dilarutkan dalam air karena sejak semula pupuk organic cair diproduksi tanpa penambahan air.
Tidak ada jawaban pasti untuk berapa dosis aplikasi biochar yang optimal karena efek dosis penggunaan biochar bergantung pada tipe tanah, tipe biochar, dan kondisi local lainnya. Dosis biochar dapat diperkirakan dari hasil eksperimen penggunaan biochar serupa di daerah alain atau penelitan mikro menggunakan pot dengan biochar sebagai faktor. Cara ini dapat memberikan indikasi efek penggunaan biochar jangka pendek. Solusi lainnya adalah dengan menggunakan petak yang lebih kecil sebagai permulaan untuk melihat hasilnya sebelum diterapkan dan memperkiraan penggunaan biochar pada petak lahan yang lebih besar (10 ton C per hektar atau lebih). Penerapan pada dosis yang lebih kecil dapat menjadi pencegahan untuk terjadinya perubahan yang drastis pada tanah local dan terhadap tanaman. Pada perencanaan dosis biochar, sangat penting untuk mengetahui komposisi tanah, dimana biochar sebagai faktor penentu dan bukan jumlah penggunaan air. Penyusun biochar yang sangat beragam dalam sekantong biochar memberikan efek gravitasi yang berbeda. Penyusun yang dimaksud bergantung pada perlakuan produksi biochar (khususnya ketika penyiraman dengan air untuk pendinginan dan pemindahan). Komposisi penyusun tanah dapat bergantung pada pengeringan biochar sekurang-kurangnya 24 jam pada suhu 105oC dan kekeringan serta kelembaban bahan sebelum dan sesudah pembakaran. Dengan memerhatikan seberapa kering biochar, berapa dosis biochar yang dibutuhkan dapat diperhitugkan kemudian (Shackley et.al., 2016).

V.      PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan simulasi dalam praktikum dan pengamatan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa konsep trilogi biomassa adalah tentang mengembalikan bahan organik padat, berair dan lunak ke dalam tanah untuk kesuburan tanah dan tanaman. Metode yang digunakan dalam pengelolaan biomassa dapat melalui pirolisis untuk mengelola biomassa padat dihasilkan biochar, melalui bio-composting menggunakan reaktor biokompos Hi untuk mengelola biomassa berair dan dihasilkan biokompos (pupuk organic cair) dan komposting untuk mengelola biomassa lunak dihasilkan kompos.

B.     Saran
Ø  Adanya tindakan lanjutan secara terstruktur untuk simulasi kepada warga semisal berupa hasil analisis kesuburan tanah dan rekomendasi dosis penerapan biochar yang sesuai.


DAFTAR PUSTAKA

Basri, A.B. dan A. Azis, 2011, Arang hayati (biochar) sebagai bahan pembenah tanah, Serambi Pertanian Vol. V/ No. 6/ 2011.
Diener, S., C. Z. Eawag, D. H. Nguyen, A. Morel, T. Koottatep, K. T. Leibniz, 2011, Black soldier fly larvae for organic waste treatment – prospects and constraints, Proceedings of the WasteSafe 52:1-8, Bangladesh.
Diener, S., C. Zurbrügg dan K. Tockner, 2015, Bioaccumulation of heavy metals in the black soldier fly, Hermetia illucens and effects on its life cycle, Journal of Insects as Food and Feed, 2015; 1(4): 261-270
Holmes, L.A., S. L. Vanlaerhoven, dan J. K. Tomberlin, 2012, Relative humidity effects on the life history of hermetia illucens (diptera: stratiomyidae), Environmental Entomology, 41(4):971-978.
Shackley, S., G. Ruysschaert, K. Zwart, dan B. Glaser, 2016, Biochar in European Soils and Agriculture: Science and Practice, Earthscan, Routledge.
Ok, Y. S., S. M. Uchimiya, S.X. Chang, dan N. Bolan, 2016, Biochar: Production, Characterization, and Applications, CRC Press, London.
Yuwono, N. W., 2016, Trilogi Biomassa, Nasih Widya Yuwono, (http://nasih.staff.ugm.ac.id/) terakhir diakses 27/9/2016 pukul 09.34 wib
Yuwono, N.W., 2016, Pembuatan Pupuk Organik Cair dengan Bahan Limbah Sayur dan Buah, 

Kagama Pertanian DKI (www.kagamapertaniandki.org) terakhir diakses 27/9/2016 pukul 06.59 wib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 5 : 5 Tempat Makan Favorit

Review Drama (1) : Memories of the Alhambra

Unsur-Unsur dalam Komunikasi