Spesial Edisi Gagal Menang di Pemira : Monyet Cupu Gak Konkret

Wkwkwk.. lama-lama setahun sekali ya aku baru ngepost di sini..

Bismillahirrohmaniirrohiiim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh :)

Hai, siapapun disana yang baca ini. Sebentar lagi aku ceritain kisah hidupku, apapun itu, itulah aku, terserah kalian mau bilang apa setelah ini. Seperti judulnya, aku pernah dikatain kayak gitu semua, dan itu nggak ngebuat aku jadi down atau gimana. Jadi apapun penilaian Anda saya bebaskan sesuka njenengan. Tapi kalau mau ngritik dan nyaran boleh kok komen. Saya lebih menghargai makian di depan daripada makian dibelakang. Terimakasih
Sejujurnya, aku ini anak polos. Entah sejak kapan aku jadi polos. Sebelum masuk di dunia kampus, aku hanya seorang anak sekolah menengah atas yang independen. Murni bener-bener sendiri, kesana-kemari sendiri, nggak peduli urusan orang lain dan nggak peduli omongan orang lain. Aku inget banget, waktu itu, aku dibilang makhluk santai yang tanpa beban. Iya, setelah dipikir-pikir, setelah throw back ke masa itu, aku baru inget, ya hidupku damai dan nggak ada urusan sama orang lain. Ya, hidup damai saat nggak terlibat sama orang lain.
Paragraf diatas itu menceritakan kisah hidupku waktu aku tahun terakhir di madrasah aliyah. Setahun sebelumnya, hidupku crowded, segala cerita kegagalan ada disana. Gagal manajemen waktu, gagal akademik, gagal jaga kesehatan, gagal jadi anak rumahan, gagal punya pacar, gagal lah pokoknya. Bisa dibilang masa suram berakhir di tahun kedua. Berkebalikan dengan tahun ketigaku. Aku boleh dibilang banyak meluangkan waktu untuk diri sendiri, belajar, berdoa, berlatih, ngeluyur, sendirian. Saat itu, aku mulai menuai banyak hal, punya banyak teman, ulangan harian pertama kali dapet 100, sukses pengibaran bendera di balai kota, lulus SMA, diterima di beberapa perguruan tinggi, dan alhamdulillah sampai bisa kesini.
Baru-baru ini aku melupakan, kenapa bapak bisa ngeridhoin aku ngerantau di sini. Iya, aku lupa, beliau pernah bilang, itu karena aku sudah pernah melalui masa berat itu, berat fisik-batin-mental, melalui masa-masa menjadi pengurus OSIS, koordinator di Paskib sekolah, capaska di Balai Kota. Itu dilengkapi dengan kehampiranku tidak naik ke kelas duabelas. Ya, masa beratku itu pernah terjadi di 2012-2013. Karena itu bapak menganggapku kuat. Setelah dipikir lagi, semua kesusahanku itulah yang membiasakan aku untuk lebih berhasil di kelas duabelasku. Kenapa aku melupakannya, ya, bodoh.
Sekarang, 2015-2016, apa jangan-jangan ini siklus tiga tahunan. Masa berat itu satu-per-satu berdatangan. Di bulan Februari, aku menerima telepon fenomenal yang mengubah hidupku, menuntutku berjuang lebih keras atas segalanya. Setelah berbulan-bulan aku tidak menangisi apapun, sejak saat itu intensitas menangisku meningkat tajam. Di satu sisi aku merasa seolah biarkan aku menangis, karena aku juga manusia, punya sisi lemah, semua ini berat dan aku sedang merasa cukup lelahdisatu sisi aku merasa betapa aku lemah dan aku harus lebih kuat. Saat itu, aku merasa payah dan kurang efforts, setiap orang punya masalahnya dan nggak semua orang nangis kayak kamu, ada diluar sana yang masih tetap tangguh dan tersenyum menyapa hidup walau masalahnya berkalilipat lebih berat. Sampai sejauh ini, aku menggunakan waktu luangku untuk menonton drama, film, atau apapun yang bergenre menyedihkan-mengharukan-nyesekkata teman-teman. Tanpa sadar, aku hanya mencari, kisah menyedihkan seperti apa yang melampaui kisahku?
Memang, terlalu angkuh untuk aku  merasa hidupku yang paling berat dan paling berat. Astaghfirullah. Aku sadar atas keangkuhanku. Sedang berproses untuk tidak menjadi demikian. Doakan saja semoga lancar sehingga saya banyak belajar.
Sangat disayangkan, saya tidak sebaik yang anda pikirkan. Saya pun merasa sedih terhadap diri saya sendiri yang selalu melakukan pembenaran atas segala yang saya lakukan dan saya anggap benar. Saya merasa sedih dan berat hati karena tidak seperti penilaian anda tentang saya, saya keluar dari ekspektasi anda. Terlalu tinggi anda menilai saya, semakin saya mengecewakan anda. Benar?
Suatu hari saya merasa tersanjung, seseorang yang tercinta berkata tentang saya kagum sama kamu dek, kamu masih bisa tersenyum walau hidup kamu seperti itu, kamu masih bisa semangat saat banyak yang harus dihadapi ah, rasanya itu sudah jauh dibelakang. Saya sedih mengecewakan anda. Saya sedih mengecewakan orang-orang yang mengharapkan saya menjadi sebaik yang anda pikirkan.
Eh soal monyet..
Suatu hari saya merasa sedih, apa saya seperti yang dibilangnya, apakah saya monyet yang tidak berpikir tentang kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang banyak? Apakah saya seperti monyet yang hanya makan, tidur, mandi, dan beribadah dengan caranya? Monyet bukan makhluk sosial, monyet tidak berjuang dan mengambil konsekuensi atas keputusan atas kebaikan yang melibatkan kepentingan banyak orang.
Karena monyet-monyet itu, saya merasa saya harus bisa tidak seperti monyet, saya harus melakukan sesuatu untuk menegaskan bahwa saya bukan monyet. Saya mengambil langkah, saya maju pemilihan raya, saya mengambil konsekuensi menang ataupun kalah, keputusan untuk mempersembahkan tenaga dan pikiran saya untuk dapat melahirkan kebaikan bersama yang menyangkut kepentingan banyak orang.

kenang-kenangan, poster yang nggak tega mau di share kemana-mana

Ditengah perjalanan, saya bukan monyet yang mementingkan urusan saya sendiri. Saya bukan monyet, yang egois, yang tidak menjaga perasaan orang lain. Saya punya kewajiban untuk menjaga harmonisnya keluarga diangkatan saya, saya terpikirkan banyak hal yang tidak bisa saya kesampingkan satu-satu. Saya lebih banyak meluangkan waktu untuk mereka yang butuh dilindungi dan didengar ceritanya, keluh-kesahnya, dari pada saya mempromosikan diri untuk menang, mempengaruhi semua orang untuk memilih saya. Saya berpikir untuk membebaskan semua orang, untuk berpikir sendiri, untuk melihat dan memperhatikan, mana, siapa yang kira-kira tepat untuk mengemban amanah yang kelak menyangkut kepentingan dan kebermanfaatan bagi banyak orang. Walau pada akhirnya, harmonisnya keluarga adalah ekspektasi yang terlampau tinggi, bahkan salah seorang mengatakan keluarga? Hoax.
Baru semalam, diumumkan bahwa saya kalah di pemilihan raya. Kecewa? Tidak. Serius, saya tidak kecewa, karena saya kalah dari orang yang tepat. Ikhlas? Ya. Karena ikhlas untuk tidak lagi memaksa diri berada di posisi yang tidak saya inginkan dari dalam hati. Sejujurnya terlampau berat semua bila saya harus ampu sendiri. Yang harus dipikirkan bukan hanya di sini, tapi juga di rumah, dan masa depan saya, cita-cita saya yang diragukan banyak orang. Posisi untuk membantu sang dirjen di kedirjenan saya? Boleh. Saya sudah bilang, saya akan ada untuk adik-adik saya, untuk sang dirjen bertanya sesuatu yang tidak dipahaminya kepada saya. Saya ikhlas dan legowo. Tapi, kenapa saya ingin pergi dan mengepakkan sayap diluar sangkar ini, kenapa saya harus dibilang cupu?
 Dikatakannya rencana dan plan yang saya miliki hanyalah wujud dari kebaperan saya, hanya alasan saya dari kekecewaan atas kekalahan saya, rencana saya tidak konkret dan hanya akan berakhir wacana. Saya mendukung semua orang yang berniat baik dengan cara yang baik dan penjelasan yang baik. Tetapi nampaknya saya tidak diperlakukan demikian. Baru kemarin saya merasa, apakah perjuangan akan tetap disebut perjuangan saat rasanya seperti percobaan bunuh diri yang melelahkan dan menyakitkan bagi saya sendiri? Hahaha, terlalu berlebihan.
Akan sangat menyenangkan apabila rekanan mendukungmu dan selalu ada untukmu. Tapi dunia tidak akan berhenti berputar menunggumu yang tak kunjung melangkah. Bukan dunia yang harus memposisikan diri, tetapi kamu, aku, yang harus memposisikan diri di dunia ini. Yang pasti ingatlah untuk senantiasa mengingat dan berterimakasih kepada siapapun yang selalu ada untukmu, dimasa sulit dan dukamu. Jangan lupakan pula mereka yang masih memperdulikanmu, yang berusaha mengubah hingga menjajah pemikiranmu, agar kamu berpikir duakali, memastikan kamu tidak menyesal dikemudian hari.
Oke, setelah banyak berpikir dan dimakinya, insyaAllah bismillaahirrohmaanirrohiim, saya Faatihah Abwabarrizqi, tidak pergi dan tidak meninggalkan Dewan Mahasiswa maupun Keluarga Mahasiswa Jurusan, tidak akan membuat surat resign untuk Sekjen maupun Ketua. Cukup selalu ada dan tidak malas berjuang, melakukan aksi nyata dan pergerakan, saya masih akan suka ikut bakti sosial, aksi di kilometer nol, supporteran, rapat, gathering, dan semuanya. Tapi saya akan menyisihkan porsi waktu dalam hidup saya untuk melakukan apa yang saya mau, apa yang saya inginkan, apa yang saya niatkan untuk cita-cita saya. insyaAllah.. aamiin.
Hahaha, capek. Ternyata, saya memang sudah tau semuanya. Kadang otak ini terlalu keruh sehingga penampakan seperti Monyet yang Cupu dan nggak Konkret itu bisa muncul tanpa terkontrol dan terkendali. Saya masih bertumbuh mas-mbak. Saya masih 19 tahun, saya masih muda, kuat, sehat, dan hebat. Saya nggak akan sefrustasi itu hanya karena kalah di pemilihan raya, saya nggak akan baper, pergi, atau marah hanya karena dicaci atau dimaki. Kesabaran saya tidak sedangkal itu. Masalah di rumah saya, atau apapun itu yang saya bertumbuh menjadi perempuan mandiri, tidak memberikan saya kesempatan untuk jadi kecil hanya karena seperti ini. Saya tidak akan duduk diam dan berhenti memikirkan masalah dan problematika umat. Untuk jadi seorang wanita volunteer di tanah perang, untuk jadi seorang istri yang akan menjadikan suaminya Presiden Republik Indonesia, lari dari kenyataan bukanlah gaya saya. Jangan khawatir, saya hanya berimprovisasi, saya hanya berinovasi. Terimakasih sudah mengingatkan dan segalanya. Sumpina!! Kalian hebat :)
Sudah segini sajalah.. terimakasih sudah menyimak konferensi pers saya kali ini haha :D
*Latian jadi Ibu Negara*

Alhamdulillahirobbil’alamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yogyakarta, sehari setelah kekalahan saya,
3 Desember 2015
Kun Anta! Lillahi ta’ala yaa :)
Faatihah Abwabarrizqi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Faatihah dari Segala Sisi (Kalau Gak Kuat Gausah Dibaca) Part 5 : 5 Tempat Makan Favorit

Review Drama (1) : Memories of the Alhambra

Unsur-Unsur dalam Komunikasi